PHARYNGITIS


MAKALAH DISKUSI FARMAKOLOGI II
PHARYNGITIS


DISUSUN OLEH :
KELOMPOK B 1

1.             MOHD SAUFI BIN JAULIN          (050810030)
2.             HILYA NUR IMTIHANI      (050911159)
3.             WIDYA NUR PRATAMA    (050911161)
4.             KHOLIS NUR AINIAH        (050911163)
5.             CHRISTHIN NATALIA       (050911165)
6.             DINDA NUZULIA M            (050911167)
7.             AULIYA HILMI                    (050911169)
8.             RIZKI ADYTIA                     (050911173)                 


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.  TENTANG KASUS
Tn. Anas, 30 th datang ke dokter dengan keluhan panas sudah 2 hari, disertai batuk dan pilek. Dari pemeriksaan didapatkan t= 38 º C, faring hiperemia, tonsil tidak membesar. Diagnosa dokter adalah Pharyngitis akut. Pasien diberi resep Cefadroxil 3X500 mg, Parasetamol 3X 500 mg, Efedrin 3 X 1 tab, Ambroxol 3 X 1 tab.
a.       Bagaimanakah pendapat anda tentang resep yang ditulis dokter tersebut ?
b.      Sebagai farmasis apakah yang perlu diinformasikan kepada pasien pada saat memberikan obat tersebut?

B. TINJAUAN KASUS
a)      Panas sudah 2 hari
b)      Batuk dan pilek
c)      Suhu tubuh 38˚C
d)     Faring hyperemia
e)      Tonsil tidak membesar
f)       Diagnosa pharyngitis akut
g)      Diberi resep Cefadroxil 3 X 500 mg, Parasetamol 3 X 500 mg, Efedrin 3 X 1 tab, Ambroxol 3 X 1 tab.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN TENTANG PHARYNGITIS
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Pharyngitis
Radang tenggorokan atau pharyngitis, adalah suatu penyakit radang yang menyerang batang tenggorok. Penyakit yang kerap disebut radang tenggorok itu ditandai adanya penebalan atau pembengkakan dinding tenggorokan, berwarna kemerahan, ada bintik-bintik putih, disertai adanya rasa sakit menelan.
Radang tenggorok bisa disebabkan infeksi virus atau kuman, disertai daya tahan tubuh yang lemah. Pengobatan dengan antibiotika hanya efektif pada radang yang disebabkan oleh kuman.
ü Klasifikasi Berdasarkan lama berlangsungnya :
a.       Faringitis akut, adalah radang tenggorok yang disebabkan oleh virus dan bakteri yaitu streptokokus grup A dengan tanda dan gejala mukosa dan tonsil yang masih berwarna merah, malaise, nyeri tenggorok dan kadang disertai demam dan batuk.Faringitis ini terjadinya masih baru,belum berlangsung lama.
b.      Faringitis kronis, radang tenggorok yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama, biasanya tidak disertai nyeri menelan, cuma terasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorok. Faringitis kronis umumnya terjadi pada individu dewasa yang bekerja atau tinggal dalam lingkungan berdebu,menggunakan suara berlebihan, menderita batu kronik, dan kebiasan menkonsumsi alkohol dan tembakau. Faringitis kronik dibagi menjadi 3, yaitu:
·         Faringitis hipertrofi,ditandai dengan penebalan umum dan kongesti membrane mukosa
·         Faringitis atrofi kemungkinan merupakan tahap lanjut dari jenis pertama (membrane tipis, keputihan,licin dan pada waktunya berkerut)
·         Faringitis granular kronik terjadi pembengkakan folikel limfe pada dinding faring




ü Klasifikasi berdasarkan agen penyebab :
Faringitis Virus
Faringitis Bakteri
Biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan
Sering ditemukan nanah di tenggorokan
Demam, biasanya tinggi.
Demam.
Jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat
Jumlah sel darah putih meningkat ringan sampai sedang
Kelenjar getah bening normal atau sedikit membesar
Pembengkakan ringan sampai sedang pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan memberikan hasil negative
Tes apus tenggorokan memberikan hasil positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteri
Bakteri tumbuh pada biakan di laboratorium

2.1.2 Epidemiologi & Etiologi Pharyngitis
Faringitis adalah penyakit infeksi akut pada oropharynx atau nasopharynx. Penyakit inilah yang menyebabkan 1-2% pasien harus menjalani rawat jalan. Virus adalah penyebab paling umum, sedangkan grup A β-hemolytic Streptococcus, atau S. pyogenes adalah bakteri penyebab utama dan menjadi fokus pada bagian ini. Pada golongan pediatri grup A Streptococcus, atau “strep throat,” menyebabkan hingga 15% sampai 30% kasus pharyngitis. Pada orang dewasa hingga 5-15% kasus gejala simptomatik dari pharyngitis.
2.1.3 Patofisiologi Pharyngitis
Virus tampaknya menyebabkan mayoritas serangan, sering menyerupai pilek. Tetapi, sejumlah bakteri, dengan streptococci β hemolitik grup A (Streptococcus pyogenes, GAS) yang dominan.
Pada mayoritas kasus faringitis akut, sulit untuk membedakan, dengan dasar klinik, antara etiologi bakteri atau virus. Empat temuan yang memprediksikan biakan tenggorokan positif untuk GAS adalah eksudat tonsil, nodus limfoma servik yang membengkak dan melunak, kurang terdengar batuk, dan riwayat demam >380C. Jika terdapat dua atau tiga temuan diatas, sebaiknya dibuat biakan dan perawatan ditunda sampai tersedia hasil biakan. Dengan satu atau dua temuan, tidak dibuat kultur dan tidak diberikan antibiotik. Dengan semua temuan, sebaiknya dibuat biakan dan diputuskan untuk memulai terapi antibiotik berdasar data klinik. Biakan tenggorokan dari permukaan tonsil dan dinding farink posterior paling umum digunakan untuk uji identifikasi GAS. Diagnosa yang cepat untuk pencegahan demam rheumatic akut tidak penting, karena terapi antibiotik bisa dimulai selambatnya 9 hari setelah onset faringitis streptococcal dan masih efektif.
2.1.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Pharyngitis
Anak-anak berumur 5-15 tahun memiliki persentase atau kemungkinan tinggi terkena streptococcal pharyngitis. Orang tua dan dewasa dengan kontak terhadap pediatric juga meningkatkan resiko terkena penyakit ini.

Tanda-tanda dan symptom Streptococcal Pharyngitis
-          Serangan sakit tenggorokan mendadak dengan sakit berat saat menelan.
-          Demam
-          Sakit kepala, sakit perut (abdominal), mual, atau muntah (terutama pada anak-anak).
-          Erythema tonsil dan faring dengan kemungkinan adanya eksudat (possible patchy exudates).
-          Sakit, pembesaran anterior cervical lymphnodes.
-          Anak lidah/tekak bengkak dan merah.
-          Soft palate petechiae
-          Scarlatiniform rash
-          General absence of conjunctivitis, hoarseness, cough, rhinorrhea, discrete ulcerations, and diarrhea (suggestive of viral etiology)

Diagnosis
-          swab dan kultur dari kerongkongan/ tenggorokan :” Gold standard”, hasil dalam 24-48 jam.
-          Rapid antigen detection test :sensitivitas  80-90%, hasil diperoleh hanya dalam beberapa menit
-          tes-tes ini dilakukan hanya jika ada kecurigaan klinis streptococcal pharyngitis.
-          Untuk pasien yang telah ditetapkan menderita faringitis, keputusan klinik yang paling penting adalah penyebab faringitis oleh kelompok A Streptococcus atau bukan.
-          Centor criteria atau modifikasinya adalah suatu sistem penilaian yang mendukung suatu diagnosis pada orang dewasa untuk mengatasi kurang sensitif dan spesifik dari keputusan klinik dan untuk menghindari pengujian laboraturium untuk semua pasien. Studi terakhir menganjurkan pembatasan pengujian untuk pasien yang mendapatkan nilai dua atau lebih centor criteria akan meminimalkan pengujian yang berlebihan. Pendekatan yang paling mudah yaitu pengujian dengan konfirmasi kultur pada kasus hasil yang negatif.
-          Uji laboraturium tidak selayaknya tanpa menggunakan pertimbangan kriteria klinik. Hal ini disebabkan karena hasil positif, tidak selamanya mengindikasikan faringitis. Hasil positif mungkin juga mengindikasikan carriage (bukan infeksi aktif) oleh kelompok A Streptococcus. Kejadian carriage pada anak kecil adalah 5% - 20% dan berkurang pada orang dewasa.
-          Ada beberapa pilihan untuk pengujian faringitis kelompok A Streptococcus. Sediaan sekaan tenggorokan dikultur atau digunakan untuk rapid antigen-detection test (RADT). Kultur berupa/berwarna “gold standart” tetapi membutuhkan waktu 24-48 jam untuk mengetahui hasilnya. RADT merupakan cara yang cepat dan lebih mudah dibandingkan dengan kultur tetapi kurang sensitif. Kultur direkomendasikan untuk anak kecil, anak remaja, orang tua, guru sekolah denagn hasil test RADT negatif pada situasi perjangkitan faringitis atau untuk memonitor kekebalan. Penundaan terapi karena menunggu hasil kultur tidak memberikan efek komplikasi (meskipun beberapa argumen bahwa penyembuhan simtomatik tertunda dan efek buruknya masih ada), dan pasien harus diedukasi tentang manfaat menunggu hasil kultur untuk menurunkan kemungkinan negatif palsu dari RADT.

2.2 TINJAUAN TENTANG CEFADROXIL
2.2.1 Struktur cefadroxil
625px-Cefadroxil
2.2.2 Tinjauan dan cara kerja cefadroxil
Cefadroxil adalah antibiotika semisintetik golongan sefalosforin untuk pemakaian oral. Golongan sefalosforin secara kimiawi memiliki mekanisme kerja dan toksisitas yang serupa dengan penicillin. Sefalosforin lebih stabil daripada penicillin terhadap banyak bacteria beta-laktamase sehingga biasanya mempunyai spektrum aktivitas yang lebih luas. Cefadroxil bersifat bakterisid dengan jalan menghambat sintesa dinding sel bakteri. Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Cefadroxil aktif terhadap Streptococcus beta-hemolytic, Staphylococcus aureus (termasuk penghasil enzim penisilinase), Streptococcus pneumoniae, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Klebsiella sp, Moraxella catarrhalis.  Cefadroxil merupakan antibiotic golongan sefalosforin generasi pertama. Pada umumnya generasi pertama tidak dapat mengalami penetrasi pada system saraf pusat (tidak dapat menembus BBB) dan tidak dapat digunakan untuk mengobati meningitis. Senyawa-senyawa generasi pertama memiliki aktivitas yang lebih baik terhadap organisme-organisme gram positif dibandingkan organisme-organisme aerob gram negative.
2.2.3 Dosis dan farmakokinetik
Dewasa :
·         Infeksi saluran kemih :
·         Infeksi saluran kemih bagian bawah, seperti sistitis : 1 ; 2 g sehari dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi, infeksi saluran kemih lainnya 2 g sehari dalam dosis terbagi.
·         Infeksi kulit dan jaringan lunak : 1 g sehari dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi.
·         Infeksi saluran pernafasan :
·         Infeksi ringan, dosis lazim 1 gram sehari dalam dua dosis terbagi.
·         Infeksi sedang sampai berat, 1 – 2 gram sehari dalam dua dosis terbagi.  Untuk faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolytic : 1 g sehari dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi, pengobatan diberikan minimal selama 10 hari.
Anak-anak :
·         Infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringan lunak : 25; 50 mg/kg BB sehari dalam dua dosis terbagi.
·         Faringitis, tonsilitis, impetigo : 25; 50 mg/kg BB dalam dosis tunggal atau dua dosis terbagi. Untuk infeksi yang disebabkan Streptococcus beta-hemolytic, pengobatan diberikan minimal selama 10 hari. Pada penderita gangguan ginjal, dosis disesuaikan dengan bersihan kreatinin untuk mencegah terjadinya akumulasi obat.
Cefadroxil diberikan secara oral dalam dosis 0,5-1 gram dua kali sehari. Berikatan dengan protein plasma sebesar 20% dan memiliki T½ 1,5 jam. Cefadroxil diabsorbsi dari usus dan dimetabolisme di hepar. Konsentrasi dalam urine biasanya sangat tinggi, namun kadar dalam jarungan umumnya beragam dan lebih rendah dibandingkan dengan kadar dalam serum. Ekskresi terutama terjadi di ginjal melalui filtrasi glomeruler dan sekresi tubulus ke dalam urine. Agen-agen penghambat proses sekresi tubulus, misalnya probenesid, dapat meningkatkan kadar serum dalam jumlah besar. Dosis  harus dikurangi pada pasien-pasien dengan kerusakan fungsi ginjal.
2.2.4 Indikasi
Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti :
·         Infeksi saluran pernafasan : tonsillitis, faringitis, pneumonia, otitis media.
·         Infeksi kulit dan jaringan lunak.
·         Infeksi saluran kemih dan kelamin.
·         Infeksi lain : osteomielitis dan septisemia
2.2.5 Efek samping obat
·         Gangguan saluran pencernaan, seperti mual, muntah, diare, dan gejala kolitispseudomembran.
·         Reaksi hopersensitif, seperti ruam kulit, gatal-gatal dan reaksi anafilaksis
·         Vaginitis
·         Neutropenia
·         Peningkatan transaminase
2.2.6 Interaksi obat
·         Obat-obat yang bersifat nefrotoksik dapat meningkatkan toksisitas sefalosforin terhadap ginjal
·         Probenesid menghambat sekresi sefalosforin sehingga memperpanjang dan meningkatkan konsentrasi obat dalam tubuh
·         Alcohol dapat mengakibatkan disulfiram-like reactions, jika diberikan 48-72 jam setelah pemberian sefalosforin
·         Tendensi untuk terjadi bleeding bila dikonsumsi dengan aspirin, NSAID, dan antikoagulan

2.3 TINJAUAN TENTANG PARASETAMOL
            2.3.1 Struktur dan karakteristik Parasetamol
Parasetamol adalah obat pereda demam (antipiretik) dan nyeri (analgesic) yang paling banyak dipergunakan. Senyawa ini dikenal dengan nama lain asetaminofen, merupakan senyawa metabolit aktif fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin. Senyawa berkhasiat obat ini, tidak seperti obat pereda nyeri lainnya (aspirin dan ibuprofen),  tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi non steroid (NSAID) karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil. Parasetamol umumnya digunakan untuk mengobati demam, sakit kepala, dan rasa nyeri ringan. Senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah.
Parasetamol relatif aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol. Penelitian pada tahun 2008 membuktikan bahwa pemberian parasetamol pada usia bayi dapat meningkatkan risiko terjadinya asma pada usia kanak-kanak.
            2.3.2 Cara Kerja Parasetamol
Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.
Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi.
            Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif
2.3.3 Dosis Parasetamol Tablet 500 mg
  • Dewasa dan anak  di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 – 4 kali sehari.
  • Anak-anak 6 – 12 tahun : ½ – 1, tablet 3 – 4 kali sehari.
2.3.4 Efek Samping Parasetamol
  • Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan.
  • Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati.
  • Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam, kemerahan kulit, bengkak di wajah (mata, bibir), sesak napas, dan syok.



2.4 TINJAUAN TENTANG EFEDRIN
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan yang disebut efedra atau ma huang. Bahan herbal yang mengandung efedrin telah digunakan di Cina selama 2000 tahun, dan sejak puluhan tahun merupakan komponen obat herbal Cina untuk berbagai klaim misalnya obat pelangsing, obat penyegar, atau pelega napas. Efek farmakodinamik efedrin banyak menyerupai efek epinefrin. Perbedaannya ialah bahwa efedrin bukan katekolamin, maka efektif pada peberian oral. masa kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat, tetapi diperlukan dosis yang jauh lebih daripada dosis epinefrin. Seperti halnya dengan epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, β1, dan β2. Efek perifer efedrin  melalui kerja langsung dan melalui penglepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis  terhadap efek perifernya. Hanya l-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik.
Efek kardiovaskular efedrin menyerupai efek epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat, dan biasanya juga tekanan diastolik, serta tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refleks komensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan viseral bekurang, sedangkan aliran darah koroner, otak, dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.
Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama daripada oleh epinefrin. Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Refleks cahaya, daya akomodasi, dan tekanan intraokular tidak berubah. Aktivitas uterus biasanya dikurangi oleh efedrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.
Efedrin tidak boleh digunakan bersamaan dengan antidepresan tertentu, yaitu SNRIs (serotonin-norepinefrin re-uptake inhibitor), karena hal ini meningkatkan risiko gejala di atas akibat tingkat serum berlebihan norepinefrin. Efedrin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penggantian cairan yang tidak memadai, gangguan fungsi adrenal,hipoksia , hiperkapnia , asidosis , hipertensi , hipertiroid , hipertrofi prostat , diabetes mellitus , kardiovaskular penyakit, pada saat persalinan jika ibu BP> 130/80 mmHg, dan menyusui. Kontraindikasi untuk penggunaan efedrin meliputi: glaukoma sudut tertutup , feokromositoma , hipertrofi septum asimetris (idiopatik hipertrofik stenosis subaortic), bersamaan atau baru (sebelumnya 14 hari) monoamine oxidase inhibitor (MAOI) terapi, general anestesidengan hidrokarbon terhalogenasi (terutama halotan), tachyarrhythmias atau fibrilasi ventrikel, hipersensitivitas untuk efedrin atau stimulan lainnya.
Efedrin tidak boleh digunakan setiap saat selama kehamilan kecuali secara khusus ditunjukkan oleh dokter berkualitas dan hanya jika pilihan lain yang tersedia.
Resorpsi efedrin di usus cukup baik, bronkodilatasi sudah Nampak dalam 15-60 menit dan bertahan 2-5 jam. Plasma t1/2 nya 3-6 jam tergantung pH. Dalam hati sebagian zat dirombak; ekskresinya berlangsung lewat urine secara utuh.
Efek samping. Pada dosis biasa sudah terjadi efek sentral, seperti gelisah, nyeri kepala, cemas, dan sukar tidur, sedangkan pada overdosis timbul tremor dan takikardia, aritmia, serta debar jantung.
Efedrin : 0,25-1mg/kgBB/hr ;4 dosis

2.5 TINJAUAN TENTANG AMBROXOL
            Ambroxol adalah agen sekretolitik digunakan dalam pengobatan penyakit pernapasan yang terkait dengan kental atau berlebihan lendir . Ini adalah bahan aktif dari Mucosolvan, Mucobrox, Lasolvan, Mucoangin, Surbronc dan Lysopain. Substansi adalah Mukoaktif obat dengan beberapa properti termasuk sekretolitik dan sekretomotorik tindakan yang mengembalikan mekanisme izin fisiologis saluran pernapasan, yang memainkan peran penting dalam mekanisme alami tubuh pertahanan. Ini merangsang sintesis dan pelepasan surfaktan oleh tipe II pneumocytes . Surfaktan bertindak sebagai faktor anti-lem dengan mengurangi adhesi lendir ke bronkial dinding, dalam meningkatkan transportasi dan dalam memberikan perlindungan terhadap infeksi dan agen menjengkelkan.
Ambroxol diindikasikan sebagai "terapi sekretolitik pada penyakit bronkopulmonalis berhubungan dengan sekresi mukus abnormal dan transportasi lendir terganggu. Ini mendorong pembersihan lendir, dahak memfasilitasi dan memudahkan batuk produktif , memungkinkan pasien untuk bernapas lega dan sangat ". Ada formulasi yang berbeda banyak dikembangkan sejak izin edar pertama di 1978. Ambroxol tersedia sebagai sirup, tabletpastilesbubuk kering sachet, solusi inhalasi, tetes dan ampul serta tablet effervescent.
Ambroxol juga memberikan bantuan nyeri pada sakit tenggorokan akut . Nyeri pada sakit tenggorokan adalah ciri khas akut faringitis. Sakit tenggorokan biasanya disebabkan oleh infeksi virus . Infeksi ini terbatas diri dan pasien pulih normal setelah beberapa hari. Apa yang paling mengganggu bagi pasien adalah rasa sakit terus menerus di tenggorokan dimaksimalkan ketika pasien menelan. Tujuan utama pengobatan adalah demikian untuk mengurangi rasa sakit. Sifat utama dari Ambroxol untuk mengobati sakit tenggorokan adalah lokal anestesi efek, dijelaskan pertama pada akhir tahun 1970, tetapi menjelaskan dan menegaskan dalam pekerjaan yang lebih baru.
Ambroxol adalah inhibitor yang sangat ampuh dari saraf saluran Na+. Properti ini menyebabkan perkembangan dari sebuah permen yang mengandung 20 mg ambroxol. Banyak negara berkembang  klinis telah menunjukkan kemanjuran Ambroxol dalam menghilangkan rasa sakit di tenggorokan akut, dengan serangan aksi yang cepat dan durasi yang panjang efek minimal 3 jam. Tambahan anti-inflamasi sifat Ambroxol memiliki relevansi klinis sejak memimpin pengobatan untuk penurunan ditandai dari kemerahan sakit tenggorokan pasien.












BAB III
PEMBAHASAN

Dari tabel centor kriteria di atas, menunjukkan kemungkinan seorang pasien menderita faringitis yang disebabkan infeksi dari bakteri streptococcus. Dari studi kasus yang kelompok kami dapatkan, Tn. Anas, 30 th datang ke dokter dengan keluhan panas sudah 2 hari, disertai batuk dan pilek. Dari pemeriksaan didapatkan t= 38 º C, faring hiperemia, tonsil tidak membesar. Kemudian merujuk pada tabel di atas, tidak ada kriteria yang memenuhi, sehingga point total yang diperoleh adalah 0. Jadi presentase resiko terinfeksi bakteri streptococcus hanya 1-2.5%. Karena di tabel disebutkan bahwa suhu badan > 38˚C, sedangkan Tn Anas suhu badannya tidak lebih dari 38˚C, sehingga tidak memenuhi kriteria pada tabel. Dalam hal batuk, Tn Anas mengalami batuk sedangkan di kriteria disebutkan tidak adanya/kurang terdengar batuk. Lalu tonsil Tn Anas tidak membengkak, sedangkan pada tabel disebutkan adanya pembengkakan tonsil. Dengan demikian Tn Anas beresiko kecil terkena Streptococcal Pharyngitis. Centor kriteria atau modifikasinya adalah suatu sistem penilaian yang mendukung suatu diagnosis pada orang dewasa untuk mengatasi kurang sensitif dan spesifik dari keputusan klinik dan untuk menghindari pengujian laboratorium untuk semua pasien.
Sebelum melakukan pengobatan – meresepkan obat, sangat penting kita mengetahui penyebab radang tenggorokan guna mencegah pemberian antibiotik yang tidak tepat –yang seringkali terjadi pada kasus radang tenggorokan, karena dapat menimbulkan kuman yang resisten terhadap antibiotik. Jadi dari kasus yang kami dapatkan, dokter seharusnya menganjurkan pemeriksaan laboratorium (tes) terlebih dahulu sebelum memutuskan pemberian terapi antibiotika. Untuk tes pendahuluan dilakukan Rapid antigen detection test (RADT) :sensitivitas  80-90%, hasil diperoleh hanya dalam beberapa menit. Apabila dengan RADT hasilnya positif maka diberikan terapi antibiotic namun apabila hasilnya negative maka dilakukan pemeriksaan swab dan kultur dari kerongkongan/ tenggorokan :” Gold standard”, hasil diperoleh dalam 24-48 jam.  Diagnosa yang cepat untuk pencegahan demam rheumatic akut tidak penting, karena terapi antibiotik bisa dimulai selambatnya 9 hari setelah onset faringitis streptococcal dan masih efektif
Jika pasien positif menderita Streptococcal Pharyngitis maka antiobiotik yang menjadi drug of choice adalah penicillin. Penicillin mempunyai aktivitas spektrum yang sempit, efektif, aman, dan harganya terjangkau. Untuk anak-anak digunakan amoxicillin karena mempunyai rasa yang lebih baik dibandingkan dengan penicillin. Untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi penicillin dapat digunakan antibiotika golongan sefalosporin misalnya sefadroksil. Pada kasus Tn, Anas diperlukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk mengetahui penyebab faringitis, karena dari tabel diatas diketahui kemungkinan Tn. Anas terinfeksi streptococcal pharyngitis sangat kecil.
Untuk infeksi tenggorokan adanya demam tinggi, ingus / lendir yang berwarna hijau atau kuning merupakan gejala dari perjalanan infeksi virus, sebagian besar dokter seringkali memberikan terapi antibiotika. Padahal kondisi tersebut bukan merupakan indikasi pemberian antibiotika. Kecuali kasus dengan demam tinggi, pada saat hari ke 3-5 bisa dipertimbangkan pemberian antibiotika. Sedangkan Tn Anas baru demam 2 hari dan suhunya tidak lebih dari 38˚C. Sehingga masih belum perlu diberikan antibiotik. 
Sebelum memberi pengobatan, sangat penting bagi para dokter untuk mencari penyebab radang tenggorokan guna menegakkan diagnosa yang benar dengan tujuan mencegah pemberian antibiotik yang tidak tepat bagi sebagian besar penderita radang tenggorokan karena dapat menimbulkan organisme yang resisten terhadap antibiotik.
Untuk pengobatan Tn Anas digunakan parasetamol, efedrin, dan ambroxol. Parasetamol untuk mengurangi symptom demam. Dosis yang digunakan adalah 500 mg diberikan 3 kali sehari. Efedrin digunakan untuk mengurangi flu, dosis yang digunakan adalah 25-50 mg diberikan 3 kali sehari. Ambroxol digunakan untuk mengurangi batuk berdahak yang diderita oleh pasien. Dosis yang digunakan 60-120 mg sehari diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari.
                Dalam resep yang diberikan dokter tidak dicantumkan dosis untuk efedrin dan ambroxol. Sehingga saat apoteker memberikan obat kepada pasien seharusnya diberitahukan berapa jumlah obat yang diminum. Serta, saat menyerahkan ke pasien, diberitahukan bahwa obat diminum 3 kali sehari; Ambroxol digunakan untuk mempermudah mengeluarkan dahak sedangkan efedrin untuk meredakan pileknya dan paracetamol digunakan untuk mengobati demam, kalau sudah membaik terapi dapat dihentikan.




BAB IV
KESIMPULAN
Menurut kami, obat yang diberikan untuk pengobatan Tn. Anas adalah parasetamol, efedrin, dan ambroxol tanpa disertai antibiotika. Dari gejala yang diderita Tn Anas belum menunjukkan bahwa diagnosa faringitis akut disebabkan oleh  infeksi bakteri streptococcus sehingga untuk pemberian antibiotic perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk memastikan.
Dosis paracetamol yang digunakan adalah 500 mg diberikan 3 kali sehari. Dosis efedrin yang digunakan adalah 25-50 mg diberikan 3 kali sehari. Dan dosis ambroxol yang digunakan 60-120 mg sehari diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari.
Saat menyerahkan ke pasien, diberitahukan bahwa obat diminum 3 kali sehari; Ambroxol digunakan untuk mempermudah mengeluarkan dahak sedangkan efedrin untuk meredakan pileknya dan paracetamol digunakan untuk mengobati demam, kalau sudah membaik terapi dapat dihentikan.




BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Laurance, Jeremy (September 19, 2008). "Paracetamol given to babies is linked to global rise in asthma", The Independent. Akses 19 September 2008.
Beasley, Richard; Clayton, Tadd; Crane, Julian; von Mutius, Erika; Lai, Christopher; Montefort, Stephen; Stewart, Alistair (2008). "Association between paracetamol use in infancy and childhood, and risk of asthma, rhinoconjunctivitis, and eczema in children aged 6–7 years: analysis from Phase Three of the ISAAC programme.". The Lancet 372: 1039-1048, http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140673608614452/abstract. Akses 19 September 2008.
"Baby paracetamol asthma concern", BBC News (2008-09-19). Akses 19 September 2008.
Aronoff DM, Oates JA, Boutaud O (2006). "New insights into the mechanism of action of acetaminophen: Its clinical pharmacologic characteristics reflect its inhibition of the two prostaglandin H2 synthases". Clin. Pharmacol. Ther. 79 (1): 9–19.
Roberts, L.J II. & Marrow, J.D. "Analgesic-antipyretic and Antiinflammatory Agents and Drugs Employed in the Treatment of Gout" in, "Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th Edition" by Hardman, J.G. & Limbird, L.E. Published by McGraw Hill, 2001, p.687–731.
Chandrasekharan NV, Dai H, Roos KL, et al (2002). "COX-3, a cyclooxygenase-1 variant inhibited by acetaminophen and other analgesic/antipyretic drugs: cloning, structure, and expression". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 99 (21): 13926–31.
Borne, Ronald F. "Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs" in Principles of Medicinal Chemistry, Fourth Edition. Eds. Foye, William O.; Lemke, Thomas L.; Williams, David A. Published by Williams & Wilkins, 1995. p. 544–545.
            www.wikipedia.org
Farmakologi dan terapi edisi 4
Farmakologi dan terapi edisi 5
Farmakologi dasar dan klinik. Bertram g. katzung. Edisi 8


Labels: kesehatan
Back To Top